Selasa, 19 Agustus 2008

Wabah Anthrax di NTT

Mengapa Masih Sering Berulang
Wabah Antraks di Nusa Tenggara Timur

Maxs U.E. Sanam
(Harian PK, November 2007)

Wabah penyakit antraks kembali merebak di NTT. Setelah beberapa bulan lalu terjadi di Sumba Barat, kali ini berkecamuk di Flores, khususnya di Kabupaten Ende dan Sikka. Harian Pos Kupang (30/10) memberitakan bahwa antraks semula mewabah di Desa Tou Timur dan Desa Kota Baru, Kecamatan Kota Baru, Kabupaten Ende. Wabah yang sama juga ternyata terjadi di desa tetangganya yakni Desa Koro, wilayah Kabupaten Sikka (Pos Kupang, 31/10). Menilik catatan kasus, sesunggguhnya antraks di kedua Kabupaten ini, khususnya Ende, bukanlah kali pertama terjadi karena sudah pernah muncul di tahun-tahun sebelumnya, setidaknya di tahun 2003 dan 2004 (Drh. Maria Geong, Ph.D., Pos Kupang, 30/10).

Dengan kembali merebaknya wabah antraks ini seolah mempertegas status NTT sebagai wilayah yang paling ‘kaya’ dengan koleksi penyakit hewan menular strategis (PHMS) di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. Sebut saja sederet PHMS lain seperti seperti rabies, hog cholera, brucellosis, ngorok, ND, dan avian influenza (AI). Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mendefinisikan penyakit PHMS sebagai penyakit hewan yang memiliki dampak ekonomis yang signifikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Karena itu, aturan perdagangan hewan internasional melarang suatu negara yang masih berjangkit PHMS untuk mengekspor hewan maupun produk asal hewannya ke wilayah/negara lain yang bebas PHMS bersangkutan.

Tentunya kita patut mengapresiasi berbagai upaya dan kerja keras dari berbagai pihak yang-kompeten melaksanakan tugas pencegahan dan pengendalian berbagai PHMS tersebut. Namun, pertanyaan yang layak direnungkan adalah mengapa segala upaya dan kerja keras yang sudah dilakukan selama ini belum mampu memberantas satu pun penyakit hewan menular lenyap dari wilayah NTT ini? Padahal upaya pencegahan, khususnya vaksinasi, untuk sebagaian besar PHMS (termasuk antraks) sudah dilakukan sejak puluhan tahun silam. Untuk menjawab pertanyaan yang gampang-gampang sulit ini, selayaknya kita pahami terlebih dahulu epidemiologi dan karakteristik penyakit antraks ini.

Sekilas tentang antraks pada hewan dan manusia
Antraks adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Bakteri Bacillus anthracis, menyerang terutama ternak herbivora seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing. Hewan-hewan lain seperti kuda, anjing dan babi juga dapat diserang namun dengan tingkat fatalitas yang relatif lebih rendah. Antraks tergolong penyakit zoonosis karena disamping menyerang hewan, dapat juga menginfeksi manusia. Kuman B. anthracis memiliki 2 bentuk yakni vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif akan berubah menjadi spora saat kontak dengan oksigen/udara. Spora antraks sangat tahan panas dan di tanah dapat bertahan hidup selama puluhan tahun (dapat lebih dari 50 tahun).

Penyakit antraks banyak ditemukan di daerah-daerah pertanian yang memiliki pH tanah alkalis dan berkapur. Spora antraks yang berada di tanah menjadi sumber infeksi bagi ternak herbivora saat merumput. Data menunjukkan bahwa sebagaian besar wabah antraks terjadi selama periode akhir musim kemarau hingga awal musim hujan. Kekeringan memaksa ternak memakan bagian tanaman hingga dekat dengan tanah dimana spora antraks berada. Sementara itu, saat banjir, tanah akan terkikis sehingga spora akan terangkat ke permukaan dan memudahkan infeksi.

Masa inkubasi antraks berlangsung 3 – 7 hari dengan gejala yang terbagi dalam 3 bentuk yaitu perakut, akut, dan kronis. Pada bentuk perakut, penyakit berlangsung sangat cepat, ternak ditemukan mati tanpa menunjukkan gejala-gejala sakit yang menonjol. Bentuk akut, penyakit berlangsung relatif lebih lama, hewan mengalami demam, lesu, gemetaran, kejang lalu mati. Di samping itu kadang ditemukan darah encer berwarna hitam seperti tir keluar dari lubang-lubang tubuh alami. Kematian ummumnya terjadi 2 – 3 hari setelah gejala penyakit. Pada kasus kronis lebih sering dijumpai pada babi, terjadi penimbunan cairan edema yang meluas di bawah kulit di daerah leher dan dada bagian bawah, serta bahu.

Manusia dapat terinfeksi kuman antraks melalui 3 cara yaitu bersentuhan langsung dengan spora antraks (antraks kulit), mengkonsumsi makanan tercemar (antraks pencernaan), atau menghirup spora (antraks paru-paru). Data menunjukkan bahwa 95% kasus antraks pada manusia adalah bentuk antraks kulit. Bentuk antraks kulit ini dicirikan dengan terbentuknya borok bernanah (malignant pustula) atau gelembung panas dan sakit di bawah kulit (karbunkel).

Antraks paru-paru atau lazim dikenal sebagai woolsorter’s disease adalah penyakit infeksi yang umum dialami para penyortir bulu domba akibat secara tidak sengaja menghirup spora antraks yang terdapat di dalam bulu domba yang tercemar. Antraks inhalasi ini seringkali menimbulkan kematian. Kuman antraks telah dimanfaatkan kaum teroris sebagai salah satu senjata biologis. Kita mungkin masih ingat kasus teror di Amerika Serikat tahun 2001 yang memanfaatkan serbuk spora antraks yang dikirim melalui surat sehingga mengakibatkan 5 orang terbunuh.

Pencegahan dan penanganan antraks
Vaksinasi merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah antraks pada hewan. Namun vaksinasi seharusnya dilakukan setiap tahun dan dilaksanakan paling lambat 3 minggu sebelum perkiraan wabah. Dengan demikian tubuh hewan/ternak sudah memiliki zat kebal (antibodi) untuk menahan serangan infeksi kuman. Untuk menjamin perlindungan terhadap populasi secara maksimal maka cakupan vaksinasi harus tinggi dan mencakup seluruh jenis hewan yang rentan (sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, dan babi). Di samping itu, mengingat vaksin antraks merupakan vaksin hidup maka tidak boleh digunakan bersamaan dengan terapi antibiotika karena dapat menurunkan viabilitas (daya hidup) dan efektifitas vaksin.

Dalam keadaan wabah, hewan yang sakit namun masih belum parah dapat diobati dengan antibiotika dosis tinggi selama 3 – 4 hari. Sedangkan bangkai hewan yang mati tidak boleh dibuka apalagi dikonsumsi sebab apabila bagian bangkai dipotong maka bagian terbuka yang mengandung sel vegetatif antraks tersebut akan terkena oksigen dan serta-merta bentuknya berubah menjadi spora yang akan mencemari tanah dan bertahan hidup dalam waktu yang sangat lama. Maka sebaiknya di sekitar bangkai tersebut digali lubang yang cukup dalam untuk selanjutnya bangkai tersebut dibenamkan, dibakar lalu ditaburi kapur dan ditutup dengan tanah. Penguburan bangkai ini juga penting untuk mencegah penyebaran bakteri oleh hewan-hewan pemakan bangkai.

Pasien penderita antraks kulit, perlu segera memeriksakan diri ke dokter atau puskesmas terdekat untuk mendapatkan pengobatan. Gejala klinis yang muncul dan adanya riwayat kontak dengan hewan penderita antraks serta status endemis wilayah biasanya sudah cukup memberikan petunjuk bagi dokter untuk melakukan pengobatan yang efektif bila dilakukan seca dini.

Problem penanganan penyakit antraks di NTT
Kembali kepada pertanyaan yang diajukan dalam judul tulisan ini: ”Mengapa kasus antraks masih sering terjadi di NTT?” Sungguh tidaklah mudah bagi saya untuk menjawabnya namun berdasarkan pengalaman empiris saya dapat mengidentifikasi beberapa permasalahan. Pertama, vaksinasi pada hewan merupakan cara yang paling efektif mencegah timbulnya wabah antraks baik pada manusia maupun hewan; Namun, implementasinya di lapangan tidak dilakukan secara optimal. Data menunjukkan bahwa realisasi vaksinasi antraks pada daerah-daerah endemis, seperti Manggarai dan Sikka di Tahun 2006 hanya berkisar 42 - 45% (Data Dinas Peternakan NTT). Padahal, secara teoritis, untuk mencegah timbulnya wabah suatu PHM, cakupan vaksinasi minimal 80% dari populasi terancam. Buktinya, Ngada yang adalah daerah endemis dan juga tetangga terdekat dari Ende (daerah wabah), tidak mengalami kasus antraks karena realisasi vaksinasinya sudah cukup tinggi (hampir 90%).

Vaksinasi pun seringkali dilakukan secara tidak tepat waktu. Padahal, pola kejadian sebagian besar penyakit sebenarnya dapat diramalkan dan karena itu waktu pelaksanaan vaksinasi semestinya sudah dapat ditentukan. Namun sayang, proses pengadaan vaksin maupun aplikasinya di lapangan bukanlah hal yang mudah. Ia harus mengikuti proses yang panjang dan berliku. Akibatnya, meskipun vaksinasi masih dapat dilakukan, penyakit ternyata bergerak lebih cepat daripada vaksin.

Kedua, belum tersedianya laboratorium diagnostik yang memadai di daerah baik dalam hal peralatan maupun kemampuan SDM-nya merupakan persoalan yang cukup krusial. Selama ini, untuk mendiagnosa penyakit sekalipun untuk teknik pemeriksaan yang tergolong sederhana, laboratorium daerah harus mengirimkan spesimen hingga ke Denpasar, Maros, ataupun Bogor. Sementara itu, jumlah dan mutu tenaga ahli kesehatan hewan, baik paramedis veteriner maupun dokter hewan juga masih jauh dari memadai. Akibatnya penanganan dan pengendalian wabah penyakit hewan menjadi sangat lamban.

Ketiga, tanggung-jawab pemberantasan PHMS harusnya juga menjadi perhatian dan tanggung-jawab bersama, termasuk masyarakat dan pemilik hewan atau ternak. Pengetahuan dan kesadaran untuk memelihara ternak dalam sistem manajemen pemeliharaan yang benar dan sehat, termasuk kesadaran untuk melakukan vaksinasi, belum membudaya secara baik. Ironis memamg bahwa dalam era moderen seperti ini kebiasaan memakan daging hewan sakit bahkan yang sudah menjadi bangkai pun, masih cukup marak dilakukan. Upaya-upaya pengendalian dan pemberantasan PHM khususnya penyakit antraks seyogyanya diarahkan untuk mengatasi persoalan-persoalan krusial di atas. Pertama, membenahi penerapan vaksinasi baik pada aspek kuantitas maupun kulitas. Terkait aspek kuantitas adalah dengan memaksimalkan persentasi cakupan dan mengoptimalkan waktu pelaksanaannya; Sedangkan berhubungan dengan aspek kualitas, perlu dilakukan evaluasi terhadap mutu vaksin, penanganan dan penerapannya di lapangan, serta pasca vaksinasi untuk memastikan efektifitas vaksinasi tersebut suatu rangkaian proses evaluasi yang seringkali terabaikan. Kedua, meningkatkan kapasitas kompetensi laboratorium diagnostik di daerah melalui peningkatan sarana dan prasarana, serta pengembangan kualitas SDM, khususnya dokter hewan. Pengendalian PHMS memerlukan tenaga ahli yang mampu berpikir analitis, bersikap dan bertindak profesional serta tidak cukup dengan hanya mengandalkan tenaga-tenaga awam yang hanya terampil menggunakan jarum suntik; Ketiga, melakukan penelitian untuk memetakan karakter genetik dan virulensi dari strain B. anthracis yang mungkin saja telah mengalami perubahan; Keempat, mengintensifkan penyuluhan kepada peternak tentang pengenalan, pencegahan dan penanganan penyakit antraks;. Saat yang sama, penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya mengkonsumsi daging hewan sakit apalagi bangkai hewan perlu diintensifkan. Kebiasaan yang merupakan kesalahan fundamental ini tidak saja membahayakan jiwa tetapi juga ikut menyebarkan penyakit antraks itu sendiri; dan Kelima, menggalang komitmen politik dari pemerintah dan kalangan legislatif baik di level provinsi maupun daerah untuk memberikan dukungan penuh bagi upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan PHMS. Memang terkesan bahwa hewan/ternak menjadi fokus penanganan karena sudah seharusnya demikian strategi pengendalian penyakit PHMS agar kita tidak terjebak dalam rutinitas ritual-seremonial penanganan simtom (akibat) tapi tidak pernah menyentuh apalagi mengatasi inti dari persoalan (causa prima) suatu penyakit.

Guru dan Jabatan Struktural

Guru dan Jabatan Struktural
(Dimuat di Harian PK Oktober 2007)

Mencermati pemberitaan media massa khususnya Harian Pos Kupang beberapa pekan terakhir ini, terlihat jelas bahwa rencana Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe untuk menempatkan sejumlah guru ke dalam jajaran ’kabinetnya’ telah menuai reaksi penolakan dari sejumlah kalangan, terutama dari kalangan pengamat politik, birokrat, dan DPRD yang menilai skeptis terhadap kemampuan dan kompetensi guru untuk menakhodai instansi kepemerintahan. Gugatan terhadap peran ganda guru masih terus berlanjut.

Di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) , pemerintah daerahnya telah berketetapan untuk mengembalikan pejabat berlatar-belakang guru ke habitat aslinya karena dianggap bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan, menurut penilaian Sekda TTS kinerja pejabat struktural yang berlatar belakang guru di daerah tersebut tidaklah memuaskan. Mereka dinilai tidak kompeten untuk menjadi pimpinan di instansi pemerintahan di daerah tersebut (Pos Kupang, 1/10/2007). Terkait dengan penilaian ini maka saya mengawali tulisan ini dengan suatu pertanyaan yang menggugat:’Benarkah guru tidak pantas menduduki jabatan struktural?’. Saya tidak berniat sedikitpun untuk terlibat berargumentasi dalam wacana politis yang mungkin ada terkait kontroversi rencana pengalihan fungsi dan tugas guru. Sebagai seorang tenaga pengajar (baca: guru) di perguruan tinggi saya terdorong untuk memberikan ’perlawanan’ terhadap arus penilaian skeptis yang semakin gencar ditujukan kepada kaum pendidik khususnya guru yang sadar ataupun tidak sadar melecehkan potensi dan kapasitas guru sebagai pemimpin.

Undang-Undang Guru dan Dosen
Guru menurut Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen adalah tenaga profesional yang wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, serta sehat jasmani dan rohani. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Guru yang bermutu memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Penjelasan UU tersebut menggariskan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian mengandung makna kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Sedangkan, kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Benarkah Undang-Undang melarang pengalihan profesi guru menjadi pejabat struktural? Pertanyaan ini penting untuk diajukan dan sekaligus dijawab sehubungan dengan pernyataan beberapa kalangan yang memvonis bahwa pengalihan profesi guru merupakan kebijakan melanggar aturan hukum. Begitu pula dengan pernyataan salah satu pejabat penting di Kabupaten TTS bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, serta Undang-Undang Guru dan Dosen, maka guru harus kembali menjadi guru dan tidak boleh menduduki jabatan struktural (PK, 1/10/2007). Jika kita sempat membaca dan mencermati Pasal 26 ayat (1) UU RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara tegas menyatakan bahwa ”Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat ditempatkan pada jabatan struktural”. Jadi jelas bahwa Undang-Undang tidak melarang bahkan justru membuka ruang bagi guru yang berkompeten untuk berkarya pada jabatan-jabatan struktural (antara lain untuk menjadi Kepala Sub-Dinas atau bahkan Kepala Dinas). Rujukan Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara RI No SE/15/M.PAN/4/2004 tentang larangan Pengalihan PNS dari Jabatan Guru ke Jabatan Non Guru (PK, 28/9/2007) dapatlah dipahami sebagai instrumen peraturan yang mengatur secara situasional namun kurang tepat apabila digunakan sebagai referensi utama untuk membatasi pengembangan karier dan potensi guru. Secara Hukum, jelas nilai sebuah Undang-Undang lebih tinggi daripada surat edaran menteri, yang diterbitkan setahun lebih dahulu. Lagipula sudah lazim terjadi di negeri ini jika peraturan yang lebih rendah ternyata bertentangan atau menyimpang dari peraturan/perundangan di atasnya. Dalam spirit hak asazi manusia, siapa pun tidak berhak membatasi apalagi melarang seseorang untuk berkarya dan berekspresi di bidang pekerjaan tertentu sekalipun ia harus keluar dari ’habitatnya’.
Guru bukanlah pemimpin?
Beberapa pihak menilai bahwa guru tidak mampu untuk menjadi pemimpin pada tugas atau jabatan struktural. Guru dianggap hanya bisa bekerja dengan mengajar siswa di depan kelas. Pekerjaan mengajar di kelas dinilai seolah-olah memiliki tingkat kesulitan dan membutuhkan tingkat kecakapan yang lebih rendah daripada tugas mengepalai sejumlah pegawai di instansi pemerintah. Sudah tentu, seorang pemimpin (leader) yang sukses baik di dunia bisnis maupun di birokrasi dipersyaratkan memiliki sejumlah kemampuan yakni leadership, manajerial, kompetensi, dan profesionalisme yang tinggi.
Bagaimana dengan kepemimpinan guru? Guru dalam pekerjaaan aslinya adalah pemimpin bagi siswa-siswi dan sesama guru yang lain. Guru juga dapat merupakan seorang manajer yang baik dimana setiap tugas pendidikan dan pengajarannya harus diawali dengan perencanaan terhadap strategi pembelajaran kemudian diikuti dengan impelementasi dan monitoring, dan diakhiri dengan evaluasi terhadap keberhasilan ataupun kegagalan dari program pengajaran. Keseluruhan tahap prinsip manajemen tersebut telah dapat dikerjakan secara sempurna oleh seorang guru; bandingkan penerapan proses-proses manajemen tersebut pada instansi pemerintah yang umumnya ditangani secara terpisah oleh beberapa bagian atau seksi.

Dalam hal memberikan motivasi untuk membangkitkan semangat juang seseorang dan semangat solidaritas dan kerjasama tim, kita pasti sepakat bahwa guru lah jagonya. Seorang pemimpin yang baik harus menjadi teladan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Keteladanan tersebut melingkupi beragam aspek, utamanya disiplin, moralitas dan kejujuran. Seorang guru yang saleh dan profesional tentunya sudah memenuhi tuntutan tersebut, dimana tuntutan terhadap nilai-nilai tersebut menjadi keharusan dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tuntutan terhadap bidang-bidang pekerjaan lain di luar bidang pendidikan. Guru dengan kompetensi dasar yang dimiliki karena tuntutan profesinya akan semakin diperkaya dan terasah dengan pengalaman-pengalaman kerja ataupun aktivitas di luar profesi guru; misalnya dengan menjadi kepala sekolah, pengurus organisasi profesi ataupun organisasi kemasyarakatan, dsb. Tambahan pengalaman ini tentunya semakin meningkatkan eligibilitas guru untuk direkrut menjadi pemimpin, termasuk menjadi pimpinan pada jabatan-jabatan struktural yang relevan dengan kompetensi dan keahlian pribadinya.

Soal kredibilitas kepangkatan, jangan ditanya! Kenaikan pangkat guru cukup teruji dimana guru harus mengumpulkan sekian banyak angka kredit yang menyangkut sejumlah item kompetensi. Bandingkan kenaikan pangkat PNS non guru/dosen yang relatif terjadi secara reguler setiap 3 – 4 tahun tanpa perlu susah-payah mengumpulkan angka kredit. Bahkan beberapa waktu yang lalu seseorang PNS bisa mengalami kenaikan pangkat 2 kali dalam setahun untuk memenuhi persyaratan kepangkatan menduduki jabatan struktural, sehingga disindir sebagai pangkat Nagabonar.

Guru dan angka
Salah satu alasan penolakan lain terkait pengalihan tenaga guru ke tugas-tugas struktural adalah terbatasnya jumlah guru di daerah. Namun pertanyaannya adalah seberapa besar dampak yang terjadi pada dunia pendidikan dengan kepindahan jabatan atau bahkan keluarnya beberapa orang guru dari total ribuan guru yang aktif mengajar dan mendidik siswa di daerah? Argumentasi bahwa pengalihan tersebut akan semakin memperparah kondisi kekurangan guru tampaknya tidak memiliki alasan yang cukup kuat. Promosi seorang guru ke dalam jabatan-jabatan non guru justeru memberikan motivasi dan apresiasi bagi profesi guru yang hingga kini masih dianggap kurang bergengsi. Di samping itu, pengikut-sertaan guru ke dalam tugas-tugas struktural tertentu yang relevan dengan kompetensi dan profesionalisme-nya akan memberikan warna tersendiri dan mencairkan atmosfir birokrasi yang cenderung angkuh dan kaku sehingga meningkatkan pencitraan publik terhadap kualitas pelayanan instansi bersangkutan.

Pada sisi lain, penilaian miring dengan menggeneralisir kemampuan dan kompetensi guru dengan hanya berkaca pada kegagalan satu atau dua oknum guru dalam pelaksanaan tugas strukturalnya adalah kurang bijaksana. Penilaian mestinya difokuskan kepada kapasitas dan kompetensi individu pejabat bersangkutan yang kebetulan berlatar-belakang profesi guru tetapi bukan pada korps. Dalam contoh yang sederhana, jika seorang berlatarbelakang profesi guru gagal menjadi Kepala Dinas Pendidikan di Kabupaten A, maka sangatlah tidak tepat untuk menyimpulkan bahwa guru tidak mampu menjadi kepala dinassekalipun untuk sebagai kepala dinas pendidikan. Bagaimanapun, pengangkatan seseorang tidak terkecuali guru, ke dalam suatu jabatan maka penilaian kapasitas dan kompetensi haruslah menjadi acuan utama agar kinerja kepemimpinannya dapat diandalkan dan dipertanggung-jawabkan. Sangatlah naif apabila tidak ada satupun guru (dari ribuan jumlah guru di daerah) memenuhi persyaratan yang dituntut untuk tugas atau jabatan struktural. Fakta membuktikan bahwa sudah cukup banyak guru yang sukses dalam tugas/jabatan struktural maupun bidang tugas lain seperti menjadi kepala dinas, asisten, bupati, gubernur, bahkan menteri, serta pengusaha sukses di negeri ini. Memang jabatan struktural merupakan jabatan yang menggiurkan karena tunjangan dan fasilitas yang bakal diperoleh. Namun tidak semua guru tertarik untuk beralih profesi. Masih banyak guru saleh dan profesional di luar sana yang memiliki idealisme dan semangat tinggi untuk terus mengabdi dan mendidik generasi muda bangsa ini hingga masa pensiun tiba meskipun dengan dukungan sarana – prasarana yang terbatas, gaji yang pas-pasan serta tunjangan profesi guru yang masih berupa harapan, entah kapan realisasinya. Bravo guru!

Sabtu, 16 Agustus 2008

Prospek Program Pembibitan Sapi Potong di NTT


Situasi Industri sapi potong dan kebutuhan daging sapi secara nasional

Industri sapi potong di Indonesia memiliki prospek pengembangan yang sangat cerah. Hal ini dikarenakan beberapa tahun terakhir ini kebutuhan (demand) daging sapi jauh melebihi ketersediaan (supply). Pasar domestik setiap tahunnya rata-rata membutuhkan 490 ribu ton daging atau setara dengan 1,4 juta ekor sapi dengan berat hidup rata-rata 350 kg. Sementara pada saat yang sama, peternakan lokal baru mampu menyediakan 350 ribu ton daging dan kebutuhan sisanya dipenuhi dengan melakukan impor dalam bentuk 400.000 ekor sapi bakalan untuk digemukkan dan sekitar 30 ribu ton daging beku. Negara ini mengalami defisit daging sapi yang cukup serius. Bahkan defisit tersebut telah mencapai 35% atau 135,1 ribu ton. Sementara itu, defisit populasi sapi diperkirakan 10,7% dari populasi ideal atau sekitar 1, 18 juta ekor.

Selama ini, permintaan kebutuhan daging sapi di dalam negeri dipenuhi 70% dari lokal dan 30% impor. Namun akhir-akhir ini nilai impor semakin meningkat. Pada tahun 2006 total impor sapi bakalan dari Australia dan Selandia Baru hanya sekitar 400 ribu ekor, namun kemudian meningkat menjadi 500 ribu ekor di Tahun 2007. Impor daging dan jeroan juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2007 diimpor daging dan jeroan sebanyak 64 ribu ton; padahal, beberapa tahun sebelumnya masih berkisar 50 ribu ton. Bila peningkatan ini terus berlanjut tanpa ada perubahan, dua tahun ke depan diprediksi perbandingannya menjadi 60:40 atau malah lebih besar.

Kekurangan suplai daging secara nasional tersebut terjadi akibat kurangnya suplai sapi lokal. Indikasi ke arah itu terlihat jelas melalui fakta bahwa pasokan sapi bakalan dari sentra-sentra produksi luar jawa ke wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya terus merosot setiap tahun. Pasokan sapi bakalan dari Bali ke Jakarta sekitar 1000 ekor per bulan. Padahal, beberapa tahun sebelumnya mencapai 3.000 ekor. Pasokan sapi dari Sulawesi Selatan pun, sebagai salah satu sentra ternak sapi nasional, jauh berkurang. Jika sebelumnya rata-rata pasokan 6000 ekor per bulan, sekarang kurang dari 1000 ekor. Pasokan sapi ke wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya hanya mengandalkan dari Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur (Harian Kompas, 16 Juli 2008). Penurunan populasi sapi lokal ini terjadi akibat laju pengurasan yang tinggi di tahun-tahun sebelumnya serta sistem pembibitan sapi potong nasional masih bersifat parsial sehingga tidak menjamin kesinambungan. Padahal, titik kritis dalam pengembangan sapi potong adalah pembibitan.

Para pakar dan praktisi persapian berpendapat bahwa untuk menyelamatkan industri sapi potong Indonesia, tidak ada pilihan lain kecuali mempercepat dan mengintensifkan program pembibitan sapi. Pemerintah RI sendiri melalui Departemen Pertanian (Deptan) telah mencanangkan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) pada 2010 dengan target penyediaan bibit betina produktif sebanyak 1 juta ekor dan penurunan tingkat ketergantungan impor hingga hanya 10%. Target ini sangatlah berat, mengingat waktu yang tersisa hanya tinggal 2 tahun, dan jika pemerintah tidak dibantu oleh berbagai pihak utamanya swasta dan masyarakat peternakan maka sangatlah sulit untuk dicapai.

Situasi peternakan sapi potong di Nusa Tenggara Timur dan Peluang program pembibitan

Hampir seratus tahun ternak sapi telah menyatu dengan kehidupan sebagaian besar masyarakat tani di Pulau Timor dan Sumba. Dari total ternak sapi di NTT yang mencapai kurang leboh 500 ribu ekor, sapi Bali merupakan jenis yang terbanyak dipelihara yakni sekitar 425 ribu ekor atu 85% dari total populasi sedangkan sisanya adalah jenis sapi ongole dan madura. Sebagian besar populasi sapi bali tersebut tersebar di daratan Timor.

Dominasi sapi bali dalam struktur populasi sapi di NTT dapat dimaklumi karena jenis bangsa sapi tersebut memiliki banyak keunggulan dibandingkan jenis sapi lain. Keunggulan tersebut antara lain tingkat fertilitas yang tinggi, lebih tahan terhadap panas dan kering, cepat beradaptasi terhadap lingkungan yang baru, cepat berkembang biak, bereaksi positif terhadap perlakuan pemberian pakan, kandungan lemak karkas rendah, keempukan daging tidak kalah dengan daging impor. Fertilitas sapi bali berkisar 83 – 86%, lebih tinggi dibandingkan sapi Eropa dan sapi ongole yang hanya 60%. Karakterisitk reproduktif sapi Bali antara lain periode kebuntingan 280 – 294 hari, rata-rata prosentase kebuntingan 86,56%, dan persentase kelahiran 83,4 %.

Sapi Bali merupakan ternak potong yang sangat potensial sebagai penyumbang daging utama. Secara proporsional sapi Bali memiliki komposisi daging yang lebih banyak bila dibandingkan sapi lokal lainnya. Data menunjukkan bahwa persentase karkas sapi Bali adalah 55%, lebih tinggi dari sapi Ongole dan Madura (rata-rata 49%). Dengan kata lain, pada berat badan yang sama, sapi Bali menghasilkan daging lebih banyak dibandingkan kedua jenis sapi tersebut.

Luas wilayah NTT yang sekitar 4,7 juta Ha dengan kondisi fisik lahan 47,8 % berupa dataran rendah dan 55% jenis tanah subur, ternyata terdapat 1,7 juta Ha lahan yang berupa pada rumput (savanah) yang berpotensi sebagai padang pengembalaan. Dilihat dari potensi daya dukung hijauan pakan di wilayah NTT pada umumnya masih melimpah dan masih mampu menambah ternak ruminansia (sapi). Hasil penelitian Susanto dan Juarini di tahun 2006 mengemukakan bahwa poetensi lahan yang ada mampu menampung sekurang-kurangnya sebanyak 2,4 juta ST (Satuan Ternak) dari populasi saat itu sebanyak 472 ribu ST.

Terlepas dari potensi yang dimiliki oleh NTT, khususnya Pulau Timor bagi pengembangan peternakan sapi potong, berbagai masalah klasik masih mengancam keberlangsungan populasi/eksistensi ternak sapi di wilayah tersebut. Tingkat pemotongan betina produktif yang tinggi, manajemen padang penggembalaan yang buruk, ketiadaan sumber air dan pakan saat musim kemarau, serta ancaman penyakit-penyakit hewan menular adalah masalah utama bagi upaya pengembangan ternak sapi di wilayah ini. Kondisi ini semakin diperburuk dengan tidak adanya upaya-upaya intensif baik dari pemerintah maupun swasta untuk bergerak di dalam program-program pembibitan. Jika hal ini tidak diperhatikan secara serius maka NTT yang telah lama dikenal dengan julukan ‘gudang ternak’ sapi potong di Indonesia hanyalah akan tinggal kenangan.

Sabtu, 02 Agustus 2008

Jumat, 25 Juli 2008

Jagung dan Atoin Meto

Sangatlah menarik bahwa salah satu Program duet Gubernur/Wagub NTT yang baru terpilih, Frans Lebu Raya dan Esthon Funay, yang didengungkan akhir-akhir ini adalah intensifikasi produksi tanaman Jagung. Saya menyambut gembira usulan ini namun saya sangat terusik dan bertanya dalam diri saya: " Apa saja yang selama ini telah dilakukan pemerintah di wilayah ini terhadap komoditas Jagung ini?" Kita seolah-olah terbangun dari tidur siang yang sangat panjang. Tanaman jagung bukanlah tanaman asing, bahkan menjadi makanan pokok masyarakat NTT, terutama orang Timor. Sangatlah ironis, bahwa program-program pemerintah di bidang pertanian selama ini, nampaknya telah mengabaikan fakta bahwa Jagung adalah tanaman potensial, yang benar-benar telah menyatu dengan budaya dan 'mati-hidup' Atoin Meto.

Fakta menunjukan bahwa program-program pembangunan masih banyak yang tidak berorientasi dan berakar pada permasalahan dan potensi wilayah dan masyarakat NTT. Sebut saja program-program spekulatif, ikut arus, seperti penanaman Jatropha, Pisang abaka(t), ubi kayu, Jangkrik, Burung onta, dan masih banyak lagi yang lain.

Sudah saatnya kita kembali, melakukan reorientasi dan revitalisasi strategi pembangunan dalam kerangka pemberdayaan ekonomi rakyat guna mewujudkan kesejahteraan yang hakiki, melalui strategi pembangunan yang benar-benar selaras dengan permasalahan dan potensi wilayah dan masyarakat. Satu hal lagi yang menggelitik saya; "Bagaimana dengan ternak, khususnya sapi dan Kuda Sumba? Bukankah NTT, khususnya Timor dan Sumba adalah gudang ternak?" Konon julukan ini semakin mendekat kepada kepudarannya. Bapak Wagub (salah satu tokoh kebanggaan Atoin Meto) yang adalah seorang Sarjana Peternakan, pasti dapat menjawabnya.