Senin, 28 November 2011

HARIAN Timor Express, KAMIS, 07 MAY 2009, | 296 (http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=32098)

Ancaman Wabah Penyakit Flu Babi di Indonesia
(Suatu Tinjauan Kritis Terhadap Upaya Pencegahannya)



Drh. Maxs U.E. Sanam, M.Sc.
Dosen Mikrobiologi dan Parasitologi Fakultas Peternakan Undana

Masyarakat internasional kembali terhentak dengan ancaman wabah virus flu babi (swine flu), sementara dalam saat yang sama ancaman wabah flu burung masih terus menghantui. Virus flu babi ini dilaporkan mewabah pertama kali di Meksiko dan menular ke beberapa negara bagian Amerika Serikat. Penularannya kemudian meluas ke beberapa negara eropa dan asia, termasuk Cina, Korea Selatan, Hongkong, dan Selandia Baru.

Publikasi data Badan Kesehatan Dunia (WHO) per 4 Mei 2009, total 21 negara telah tertular virus ini (http://www.who.int/csr/disease/swineflu/). Jumlah korban terbanyak terjadi di Meksiko yakni 149 orang dilaporkan meninggal dunia dengan dugaan kuat akibat infeksi virus flu babi. Sedangkan di luar Meksiko, hanya tercatat satu kasus kematian yakni yang terjadi di Amerika Serikat.

WHO memberikan perhatian serius dan melakukan penyidikan yang intensif terhadap wabah virus flu babi ini. Dalam waktu yang relatif singkat, badan dunia in telah meningkatkan dan menetapkan kondisi wabah ini pada level 5 yang mengisyaratkan wabah telah meluas ke minimal dua kawasan dunia yang berbeda. Tinggal satu level lagi untuk mencapai level 6, tingkat tertinggi untuk mengisyaratkan keadaan pandemik; suatu situasi dimana wabah terjadi secara meluas di banyak negara di berbagai kawasan dunia. WHO menggambarkan situasi saat ini sebagai situasi darurat kesehatan masyarakat yang membutuhkan perhatian serius masyarakat internasional.

Respon berbagai negara
Kondisi wabah di Meksiko dan Amerika Serikat tersebut telah disikapi secara beragam oleh berbagai negara. Di Jepang, misalnya, manajemen bandara internasional telah memperketat pengawasan terhadap penumpang yang tiba dari Meksiko. Petugas karantina mengenakan masker hidung dan mulut saat mengaplikasikan alat pendeteksi suhu tubuh untuk mendeteksi para penumpang yang kemungkinan menderita demam dan gejala-gejala flu. Pemerintah Korea Selatan dan Taiwan juga menerapkan kebijakan dan prosedur yang sama.

Seluruh penumpang yang baru tiba dari Negara-negara terjangkit flu babi harus melewati pemeriksaan medis. Pemerintah Korea Selatan juga memerintahkan untuk mengkarantina daging babi import asal Meksiko dan Amerika Serikat. Pemerintah Rusia bahkan menerapkan kebijkan yang lebih keras lagi yakni melarang impor daging babi dari kedua Negara tersebut, dan sembilan negara Amerika Latin.

Pemerintah Indonesia sendiri juga telah bereaksi secara cepat dan cukup keras. Presiden SBY bahkan telah menginstruksikan untuk menghentikan sementara impor produk-produk babi dan hasil olahannya dari negara-negara tertular penyakit, terutama Meksiko dan Amerika Serikat. Di samping itu juga telah diinstruksikan pengawasan karantina secara ketat pada pintu bandar udara dan pelabuhan laut utama. Tak ketinggalan, alat detector suhu tubuh pun telah dioperasikan pada Bandara internasional Soekarno-Hatta.

Strain baru dan penularannya
Munculnya strain virus flu babi ini sebenarnya tidaklah mengherankan para ahli kesehatan, khususnya ahli mikrobiologi, karena telah diprediksikan jauh sebelumnya seiring dengan merebaknya wabah virus flu burung yang disebabkan oleh strain H5N1. Virus flu babi yang dikenal juga sebagai virus influenza babi (swine influenza) tipe A jenis strain H1N1 adalah strain virus yang diduga muncul sebagai campuran dari virus flu pada babi, unggas, dan manusia.

Pencampuran materi genetik virus hewan dan manusia ini memudahkan virus yang semulanya hanya berjangkit diantara hewan saja, sekarang memiliki kemampuan menjangkiti manusia dan berpeluang menimbulkan pandemi. Kasus pandemik influenza terparah terjadi dalam rentang tahun 1918 – 1919 dimana jutaan orang meninggal di seluruh dunia. Namun terkait dengan wabah influenza kali ini, WHO mengisyaratkan bahwa jika saja pandemik virus H1NI terjadi, kondisinya tidak akan separah pandemik di masa lalu mengingat perbedaan tingkat keganasan virus, status gizi, serta keberadaan layanan sarana dan prasarana kesehatan masa sekarang yang sudah jauh lebih baik.

Penyebaran virus flu babi pada orang sama dengan virus flu pada umumnya. Virus menyebar terutama dari orang ke orang melalui batuk ataupun bersin oleh penderita influenza. Kadangkala seseorang dapat terinfeksi karena bersentuhan dengan obyek yang sudah tercemar virus dan kemudian orang tersebut menyentuh hidung atau mulutnya. Virus sudah dapat ditularkan sehari sebelum penderita menampakkan gejala hingga hari ke tujuh atau lebih setelah muncul gejala sakit. Virus flu babi tidak ditularkan melalui makanan dan karenanya seseorang tidak dapat tertular flu babi akibat mengkonsumsi daging babi.

Gejala penyakit
Simptom atau gejala-gejala flu babi adalah sama dengan simptom penyakit flu biasa musiman (seasonal flu) yang meliputi demam, batuk, nyeri tenggorokan, nyeri badan, sakit kepala, kedininginan, dan lemas. Beberapa pasien penderita flu babi dilaporkan mengalami diare dan muntah. Pada kasus yang berat dan dikategorikan sebagai kasus emergensi, gejala yang teramati berupa kesulitan bernafas atau nafas yang pendek, adanya rasa sakit pada dada ataupun perut, pusing secara tiba-tiba, ataupun muntah terus-menerus.

Pencegahan dan Pengobatan
Hingga saat ini belum ada vaksin untuk melindungi seseorang dari penyakit flu babi. Namun, Central for Diseases Control (CDC) atau Pusat Pencegahan dan Pengendalian Amerika merekomendasikan beberapa tindakan-tindakan sederhana praktis untuk mencegah penularan virus yang menyebabkan gangguan pernafasan tersebut. Tindakan-tindakan tersebut antara lain: Menutup hidung dan mulut dengan kerta tisu saat batuk ataupun bersin dan membuang tisu tersebut ke kotak sampah tertutup; mencuci tangan sesering mungkin dengan air hangat dan sabun, terutama setelah bersin atau batuk; hindari menyentuh mata, hidung, ataupun mulut karena virus masuk ke dalam tubuh dengan cara tersebut; hindari untuk kontak atau berdekatan dengan penderita; jika seseorang terinfeksi virus flu sebaiknya tetap tinggal di rumah dan menghindari kontak dengan orang lain agar tidak menyebarkan virus kepada orang lain baik di rumah, di sekolah ataupun di tempat kerja (http://www.cdc.gov/swineflu/swineflu_you.htm).

Selanjutnya, jika seseorang menderita sakit dan mengalami gejala-gejala influenza seperti dijelaskan di atas maka sangat disarankan untuk meminta penanganan medis kepada perawat ataupun dokter. Pengobatan harus dilakukan seawal mungkin. Untuk obat, WHO dan CDC merekomendasikan oseltamivir ataupun zanamivir untuk digunakan pada pengobatan ataupun pencegahan infeksi virus flu babi pada manusia.

Kasus flu babi pada ternak di Indonesia
Kasus influenza babi belum pernah dilaporkan di Indonesia, termasuk di dalam wilayah provinsi NTT. Swine influenza merupakan penyakit gangguan pernafasan pada babi yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Penyakit ini meskipun memiliki angka kematian rendah, hanya 1 – 4%, namun memiliki dampak ekonomi yang cukup besar terhadap industri peternakan babi. Pada babi, disamping menyebabkan gejala-gejala flu, penyakit ini juga menyebabkan penururan kesuburan dan bahkan keguguran pada induk babi. Data penelitian menunjukkan bahwa 30% hingga 50% babi komersial di Amerika Serikat pernah terinfeksi dengan virus flu babi. Bahkan, penelitian terbaru di Negara tersebut mengungkapkan bahwa 15% – 25% peternak babi, dan 10% dokter hewan sudah pernah terinfeksi dengan virus flu babi. CDC juga melaporkan bahwa wabah flu babi pernah berkecamuk di tahun 1976 yang menyebabkan lebih dari 200 orang menderita sakit, beberapa di antaranya sakit cukup serius, dan satu orang meninggal dunia.

Babi terinfeksi virus flu H1N1 dari ternak lain yang sakit, tetapi dapat juga terinfeksi oleh unggas (flu burung), dan dari manusia (flu manusia). Infeksi silang yang terjadi di antara ketiga species ini berpeluang untuk melahirkan tipe atau strain virus flu yang baru. Hal inilah yang dikhawatirkan terjadi dengan virus flu babi H1N1 yang saat ini mewabah di Meksiko dan Amerika Serikat dan banyak Negara lain di dunia. Secara tipikal, virus tersebut adalah virus H1N1 namun secara genetik telah mengalami perubahan atau mutasi sehingga virus menjadi lebih ganas dan lebih mampu menular di dalam populasi manusia.

Disorientasi penanganan ancaman wabah
Untuk mencegah mewabahnya virus flu babi ke dalam wilayah yang masih steril beberapa Negara, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, melarang impor produk-produk asal babi. Bahkan ironisnya, Mesir telah memusnahkan lebih dari 300 ribu ekor babi dengan tujuan mencegah masuknya virus ke dalam Negara tersebut- suatu strategi yang dikritik WHO sebagai tindakan yang keliru atau tidak tepat (inappropriate action).

Untuk menghindari salah-kaprah dalam penanganan wabah virus ini yang dapat berujung pada pemusnahan populasi babi secara berlebihan sehingga mengancam industri peternakan babi, maka WHO tidak lagi menggunakan istilah ‘virus swine flu’ (virus flu babi) tetapi menamai virus flu ini dengan menggunakan nama ilmiahnya yakni ‘virus influenza A H1N1’.

Di Indonesia, beberapa pemerintah daerah nampaknya lebih memfokuskan diri kepada permasalahan penyakit pada peternakan babi daripada penanganan terhadap ancaman wabah virus influenza H1N1 itu sendiri. Sejumlah pemerintah daerah kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Tengah misalnya secara tegas melarang peternakan babi di dalam wilayahnya untuk mencegah penularan virus flu babi.

Sungguh ironis bahwa kebijakan pencegahan penyakit dilakukan secara berlebihan tanpa mempertimbangkan aspek biologis, epidemiologis, dan ekonomis. Wabah virus H1N1 saat ini tidak lagi berhubungan dengan babi karena virus sudah secara mudah menular di antara orang. Cepatnya penularan ke wilayah Negara lain lebih disebabkan oleh mobilitas transportasi orang yang tinggi, dan bukan karena impor produk-produk asal babi, apalagi karena memakan daging babi.

Virus influenza H1N1 tidak ditularkan melalui konsumsi daging babi ataupun makanan lain. Kasus penderita flu babi pada orang di Selandia Baru, Hongkong, Cina dan banyak negara lain di dunia, ditemukan pada orang yang memiliki riwayat berkunjung ke negara tertular, khususnya ke Meksiko. Hal ini membuktikan bahwa virus H1N1 asal Meksiko dan Amerikan Serikat adalah ‘biang kerok’ dari wabah flu babi di dunia saat ini yang penularannya harus dicegah atau diminimalisir melalui penerapan strategi yang benar dan efektif dengan memperhatikan kaidah-kaidah biologis dan epidemiologis.

Bagi Indonesia, fokus pencegahan terhadap peluang masuk dan merebaknya virus H1N1 seharusnya lebih diarahkan kepada potensi penularan oleh orang terinfeksi meskipun harus diakui upaya preventif membendung masuknya virus dari luar dapat saja menuai kegagalan. Seorang pelancong yang telah terinfeksi virus H1N1 dapat saja menularkan virus tersebut sehari sebelum ataupun 7 hari setelah menunjukkan gejala sakit flu, dan gejala demam-nya tidak terdeteksi oleh alat detektor panas.

Terlepas dari potensi kegagalan tersebut, manusia haruslah tetap menjadi prioritas utama pencegahan dan penanganan penyakit karena mereka adalah species penular dan korban utama infeksi virus H1N1.

Meskipun saat ini Indonesia masih dinyatakan bebas dari penyakit flu H1N1, upaya-upaya kesiagaan dini yang bertumpu kepada peningkatan pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat seharusnya sudah mulai digalakkan. Sosialisasi penyakit utamanya tentang cara-cara menghindari penularan perlu dirintis dan diintensifkan yang mencakup pembatasan mobilitas sosial bagi penderita flu, peningkatan pengetahuan higienis dan sanitasi, penyediaan dan pemakaian masker mulut dan hidung.

Sosialisasi seyogyanya dimulai dari kelompok yang lebih rentan, utamanya anak-anak sekolah mulai dari play group hingga sekolah dasar dan menengah. Di samping itu, diperlukan perhatian serius dalam penyediaan obat-obat flu, serta perbaikan sarana dan prasarana kesehatan dalam kaitan menghadapi ancaman wabah influenza.

Meskipun babi bukan merupakan penular utama virus H1N1, namun mengingat sifat virus influenza yang mudah melakukan perubahan karena melakukan pencampuran materi genetik yang kemudian memunculkan varian virus baru maka upaya-upaya sanitasi dalam budidaya ternak babi perlu ditingkatkan. Populasi ternak tidak boleh terlalu padat dan ventilasi udara di dalam kandang harus diperhatikan agar pertukaran udara bersih berlangsung secara baik. Di samping itu, faktor mutu dan jumlah pakan juga harus diutamakan agar ternak dalam kondisi fit sehingga lebih resisten atau tahan terhadap infeksi virus.

Selanjutnya, kerjasama proaktif antara peternak dan petugas kesehatan hewan perlu dikembangkan. Kondisi ini tidak saja akan memudahkan bantuan teknis kesehatan namun juga memungkinkan penanganan dini terhadap kasus penyakit. Sudah tentu kerjasama dan koordinasi lintas sektor perlu dirajut untuk memadukan arah dan langkah pengendalian penyakit yang melibatkan manusia dan hewan ini.

Pada akhirnya, hampir dapat dipastikan bahwa ancaman wabah penyakit menular, termasuk virus flu influenza H1N1, dengan intensitas yang beragam, akan terus mengintai dan mengancam kehidupan umat manusia. Kita mungkin akhirnya akan memutuskan untuk hidup berdampingan dengan mikroorganisme penyebab penyakit tersebut. Namun, yang terpenting adalah manusia dengan kemampuan akal budi, ilmu dan teknologi mampu mencegah atau bahkan mengendalikan dampak negatif dari keberadaan dan ancaman mikroorganisme patogen di sekitar lingkungan kita.**

Tidak ada komentar: