Selasa, 19 Agustus 2008

Guru dan Jabatan Struktural

Guru dan Jabatan Struktural
(Dimuat di Harian PK Oktober 2007)

Mencermati pemberitaan media massa khususnya Harian Pos Kupang beberapa pekan terakhir ini, terlihat jelas bahwa rencana Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe untuk menempatkan sejumlah guru ke dalam jajaran ’kabinetnya’ telah menuai reaksi penolakan dari sejumlah kalangan, terutama dari kalangan pengamat politik, birokrat, dan DPRD yang menilai skeptis terhadap kemampuan dan kompetensi guru untuk menakhodai instansi kepemerintahan. Gugatan terhadap peran ganda guru masih terus berlanjut.

Di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) , pemerintah daerahnya telah berketetapan untuk mengembalikan pejabat berlatar-belakang guru ke habitat aslinya karena dianggap bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan, menurut penilaian Sekda TTS kinerja pejabat struktural yang berlatar belakang guru di daerah tersebut tidaklah memuaskan. Mereka dinilai tidak kompeten untuk menjadi pimpinan di instansi pemerintahan di daerah tersebut (Pos Kupang, 1/10/2007). Terkait dengan penilaian ini maka saya mengawali tulisan ini dengan suatu pertanyaan yang menggugat:’Benarkah guru tidak pantas menduduki jabatan struktural?’. Saya tidak berniat sedikitpun untuk terlibat berargumentasi dalam wacana politis yang mungkin ada terkait kontroversi rencana pengalihan fungsi dan tugas guru. Sebagai seorang tenaga pengajar (baca: guru) di perguruan tinggi saya terdorong untuk memberikan ’perlawanan’ terhadap arus penilaian skeptis yang semakin gencar ditujukan kepada kaum pendidik khususnya guru yang sadar ataupun tidak sadar melecehkan potensi dan kapasitas guru sebagai pemimpin.

Undang-Undang Guru dan Dosen
Guru menurut Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen adalah tenaga profesional yang wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, serta sehat jasmani dan rohani. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Guru yang bermutu memiliki empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Penjelasan UU tersebut menggariskan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian mengandung makna kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Sedangkan, kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Benarkah Undang-Undang melarang pengalihan profesi guru menjadi pejabat struktural? Pertanyaan ini penting untuk diajukan dan sekaligus dijawab sehubungan dengan pernyataan beberapa kalangan yang memvonis bahwa pengalihan profesi guru merupakan kebijakan melanggar aturan hukum. Begitu pula dengan pernyataan salah satu pejabat penting di Kabupaten TTS bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, serta Undang-Undang Guru dan Dosen, maka guru harus kembali menjadi guru dan tidak boleh menduduki jabatan struktural (PK, 1/10/2007). Jika kita sempat membaca dan mencermati Pasal 26 ayat (1) UU RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara tegas menyatakan bahwa ”Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat ditempatkan pada jabatan struktural”. Jadi jelas bahwa Undang-Undang tidak melarang bahkan justru membuka ruang bagi guru yang berkompeten untuk berkarya pada jabatan-jabatan struktural (antara lain untuk menjadi Kepala Sub-Dinas atau bahkan Kepala Dinas). Rujukan Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara RI No SE/15/M.PAN/4/2004 tentang larangan Pengalihan PNS dari Jabatan Guru ke Jabatan Non Guru (PK, 28/9/2007) dapatlah dipahami sebagai instrumen peraturan yang mengatur secara situasional namun kurang tepat apabila digunakan sebagai referensi utama untuk membatasi pengembangan karier dan potensi guru. Secara Hukum, jelas nilai sebuah Undang-Undang lebih tinggi daripada surat edaran menteri, yang diterbitkan setahun lebih dahulu. Lagipula sudah lazim terjadi di negeri ini jika peraturan yang lebih rendah ternyata bertentangan atau menyimpang dari peraturan/perundangan di atasnya. Dalam spirit hak asazi manusia, siapa pun tidak berhak membatasi apalagi melarang seseorang untuk berkarya dan berekspresi di bidang pekerjaan tertentu sekalipun ia harus keluar dari ’habitatnya’.
Guru bukanlah pemimpin?
Beberapa pihak menilai bahwa guru tidak mampu untuk menjadi pemimpin pada tugas atau jabatan struktural. Guru dianggap hanya bisa bekerja dengan mengajar siswa di depan kelas. Pekerjaan mengajar di kelas dinilai seolah-olah memiliki tingkat kesulitan dan membutuhkan tingkat kecakapan yang lebih rendah daripada tugas mengepalai sejumlah pegawai di instansi pemerintah. Sudah tentu, seorang pemimpin (leader) yang sukses baik di dunia bisnis maupun di birokrasi dipersyaratkan memiliki sejumlah kemampuan yakni leadership, manajerial, kompetensi, dan profesionalisme yang tinggi.
Bagaimana dengan kepemimpinan guru? Guru dalam pekerjaaan aslinya adalah pemimpin bagi siswa-siswi dan sesama guru yang lain. Guru juga dapat merupakan seorang manajer yang baik dimana setiap tugas pendidikan dan pengajarannya harus diawali dengan perencanaan terhadap strategi pembelajaran kemudian diikuti dengan impelementasi dan monitoring, dan diakhiri dengan evaluasi terhadap keberhasilan ataupun kegagalan dari program pengajaran. Keseluruhan tahap prinsip manajemen tersebut telah dapat dikerjakan secara sempurna oleh seorang guru; bandingkan penerapan proses-proses manajemen tersebut pada instansi pemerintah yang umumnya ditangani secara terpisah oleh beberapa bagian atau seksi.

Dalam hal memberikan motivasi untuk membangkitkan semangat juang seseorang dan semangat solidaritas dan kerjasama tim, kita pasti sepakat bahwa guru lah jagonya. Seorang pemimpin yang baik harus menjadi teladan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Keteladanan tersebut melingkupi beragam aspek, utamanya disiplin, moralitas dan kejujuran. Seorang guru yang saleh dan profesional tentunya sudah memenuhi tuntutan tersebut, dimana tuntutan terhadap nilai-nilai tersebut menjadi keharusan dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tuntutan terhadap bidang-bidang pekerjaan lain di luar bidang pendidikan. Guru dengan kompetensi dasar yang dimiliki karena tuntutan profesinya akan semakin diperkaya dan terasah dengan pengalaman-pengalaman kerja ataupun aktivitas di luar profesi guru; misalnya dengan menjadi kepala sekolah, pengurus organisasi profesi ataupun organisasi kemasyarakatan, dsb. Tambahan pengalaman ini tentunya semakin meningkatkan eligibilitas guru untuk direkrut menjadi pemimpin, termasuk menjadi pimpinan pada jabatan-jabatan struktural yang relevan dengan kompetensi dan keahlian pribadinya.

Soal kredibilitas kepangkatan, jangan ditanya! Kenaikan pangkat guru cukup teruji dimana guru harus mengumpulkan sekian banyak angka kredit yang menyangkut sejumlah item kompetensi. Bandingkan kenaikan pangkat PNS non guru/dosen yang relatif terjadi secara reguler setiap 3 – 4 tahun tanpa perlu susah-payah mengumpulkan angka kredit. Bahkan beberapa waktu yang lalu seseorang PNS bisa mengalami kenaikan pangkat 2 kali dalam setahun untuk memenuhi persyaratan kepangkatan menduduki jabatan struktural, sehingga disindir sebagai pangkat Nagabonar.

Guru dan angka
Salah satu alasan penolakan lain terkait pengalihan tenaga guru ke tugas-tugas struktural adalah terbatasnya jumlah guru di daerah. Namun pertanyaannya adalah seberapa besar dampak yang terjadi pada dunia pendidikan dengan kepindahan jabatan atau bahkan keluarnya beberapa orang guru dari total ribuan guru yang aktif mengajar dan mendidik siswa di daerah? Argumentasi bahwa pengalihan tersebut akan semakin memperparah kondisi kekurangan guru tampaknya tidak memiliki alasan yang cukup kuat. Promosi seorang guru ke dalam jabatan-jabatan non guru justeru memberikan motivasi dan apresiasi bagi profesi guru yang hingga kini masih dianggap kurang bergengsi. Di samping itu, pengikut-sertaan guru ke dalam tugas-tugas struktural tertentu yang relevan dengan kompetensi dan profesionalisme-nya akan memberikan warna tersendiri dan mencairkan atmosfir birokrasi yang cenderung angkuh dan kaku sehingga meningkatkan pencitraan publik terhadap kualitas pelayanan instansi bersangkutan.

Pada sisi lain, penilaian miring dengan menggeneralisir kemampuan dan kompetensi guru dengan hanya berkaca pada kegagalan satu atau dua oknum guru dalam pelaksanaan tugas strukturalnya adalah kurang bijaksana. Penilaian mestinya difokuskan kepada kapasitas dan kompetensi individu pejabat bersangkutan yang kebetulan berlatar-belakang profesi guru tetapi bukan pada korps. Dalam contoh yang sederhana, jika seorang berlatarbelakang profesi guru gagal menjadi Kepala Dinas Pendidikan di Kabupaten A, maka sangatlah tidak tepat untuk menyimpulkan bahwa guru tidak mampu menjadi kepala dinassekalipun untuk sebagai kepala dinas pendidikan. Bagaimanapun, pengangkatan seseorang tidak terkecuali guru, ke dalam suatu jabatan maka penilaian kapasitas dan kompetensi haruslah menjadi acuan utama agar kinerja kepemimpinannya dapat diandalkan dan dipertanggung-jawabkan. Sangatlah naif apabila tidak ada satupun guru (dari ribuan jumlah guru di daerah) memenuhi persyaratan yang dituntut untuk tugas atau jabatan struktural. Fakta membuktikan bahwa sudah cukup banyak guru yang sukses dalam tugas/jabatan struktural maupun bidang tugas lain seperti menjadi kepala dinas, asisten, bupati, gubernur, bahkan menteri, serta pengusaha sukses di negeri ini. Memang jabatan struktural merupakan jabatan yang menggiurkan karena tunjangan dan fasilitas yang bakal diperoleh. Namun tidak semua guru tertarik untuk beralih profesi. Masih banyak guru saleh dan profesional di luar sana yang memiliki idealisme dan semangat tinggi untuk terus mengabdi dan mendidik generasi muda bangsa ini hingga masa pensiun tiba meskipun dengan dukungan sarana – prasarana yang terbatas, gaji yang pas-pasan serta tunjangan profesi guru yang masih berupa harapan, entah kapan realisasinya. Bravo guru!

Tidak ada komentar: