Sabtu, 16 Agustus 2008

Prospek Program Pembibitan Sapi Potong di NTT


Situasi Industri sapi potong dan kebutuhan daging sapi secara nasional

Industri sapi potong di Indonesia memiliki prospek pengembangan yang sangat cerah. Hal ini dikarenakan beberapa tahun terakhir ini kebutuhan (demand) daging sapi jauh melebihi ketersediaan (supply). Pasar domestik setiap tahunnya rata-rata membutuhkan 490 ribu ton daging atau setara dengan 1,4 juta ekor sapi dengan berat hidup rata-rata 350 kg. Sementara pada saat yang sama, peternakan lokal baru mampu menyediakan 350 ribu ton daging dan kebutuhan sisanya dipenuhi dengan melakukan impor dalam bentuk 400.000 ekor sapi bakalan untuk digemukkan dan sekitar 30 ribu ton daging beku. Negara ini mengalami defisit daging sapi yang cukup serius. Bahkan defisit tersebut telah mencapai 35% atau 135,1 ribu ton. Sementara itu, defisit populasi sapi diperkirakan 10,7% dari populasi ideal atau sekitar 1, 18 juta ekor.

Selama ini, permintaan kebutuhan daging sapi di dalam negeri dipenuhi 70% dari lokal dan 30% impor. Namun akhir-akhir ini nilai impor semakin meningkat. Pada tahun 2006 total impor sapi bakalan dari Australia dan Selandia Baru hanya sekitar 400 ribu ekor, namun kemudian meningkat menjadi 500 ribu ekor di Tahun 2007. Impor daging dan jeroan juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2007 diimpor daging dan jeroan sebanyak 64 ribu ton; padahal, beberapa tahun sebelumnya masih berkisar 50 ribu ton. Bila peningkatan ini terus berlanjut tanpa ada perubahan, dua tahun ke depan diprediksi perbandingannya menjadi 60:40 atau malah lebih besar.

Kekurangan suplai daging secara nasional tersebut terjadi akibat kurangnya suplai sapi lokal. Indikasi ke arah itu terlihat jelas melalui fakta bahwa pasokan sapi bakalan dari sentra-sentra produksi luar jawa ke wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya terus merosot setiap tahun. Pasokan sapi bakalan dari Bali ke Jakarta sekitar 1000 ekor per bulan. Padahal, beberapa tahun sebelumnya mencapai 3.000 ekor. Pasokan sapi dari Sulawesi Selatan pun, sebagai salah satu sentra ternak sapi nasional, jauh berkurang. Jika sebelumnya rata-rata pasokan 6000 ekor per bulan, sekarang kurang dari 1000 ekor. Pasokan sapi ke wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya hanya mengandalkan dari Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur (Harian Kompas, 16 Juli 2008). Penurunan populasi sapi lokal ini terjadi akibat laju pengurasan yang tinggi di tahun-tahun sebelumnya serta sistem pembibitan sapi potong nasional masih bersifat parsial sehingga tidak menjamin kesinambungan. Padahal, titik kritis dalam pengembangan sapi potong adalah pembibitan.

Para pakar dan praktisi persapian berpendapat bahwa untuk menyelamatkan industri sapi potong Indonesia, tidak ada pilihan lain kecuali mempercepat dan mengintensifkan program pembibitan sapi. Pemerintah RI sendiri melalui Departemen Pertanian (Deptan) telah mencanangkan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) pada 2010 dengan target penyediaan bibit betina produktif sebanyak 1 juta ekor dan penurunan tingkat ketergantungan impor hingga hanya 10%. Target ini sangatlah berat, mengingat waktu yang tersisa hanya tinggal 2 tahun, dan jika pemerintah tidak dibantu oleh berbagai pihak utamanya swasta dan masyarakat peternakan maka sangatlah sulit untuk dicapai.

Situasi peternakan sapi potong di Nusa Tenggara Timur dan Peluang program pembibitan

Hampir seratus tahun ternak sapi telah menyatu dengan kehidupan sebagaian besar masyarakat tani di Pulau Timor dan Sumba. Dari total ternak sapi di NTT yang mencapai kurang leboh 500 ribu ekor, sapi Bali merupakan jenis yang terbanyak dipelihara yakni sekitar 425 ribu ekor atu 85% dari total populasi sedangkan sisanya adalah jenis sapi ongole dan madura. Sebagian besar populasi sapi bali tersebut tersebar di daratan Timor.

Dominasi sapi bali dalam struktur populasi sapi di NTT dapat dimaklumi karena jenis bangsa sapi tersebut memiliki banyak keunggulan dibandingkan jenis sapi lain. Keunggulan tersebut antara lain tingkat fertilitas yang tinggi, lebih tahan terhadap panas dan kering, cepat beradaptasi terhadap lingkungan yang baru, cepat berkembang biak, bereaksi positif terhadap perlakuan pemberian pakan, kandungan lemak karkas rendah, keempukan daging tidak kalah dengan daging impor. Fertilitas sapi bali berkisar 83 – 86%, lebih tinggi dibandingkan sapi Eropa dan sapi ongole yang hanya 60%. Karakterisitk reproduktif sapi Bali antara lain periode kebuntingan 280 – 294 hari, rata-rata prosentase kebuntingan 86,56%, dan persentase kelahiran 83,4 %.

Sapi Bali merupakan ternak potong yang sangat potensial sebagai penyumbang daging utama. Secara proporsional sapi Bali memiliki komposisi daging yang lebih banyak bila dibandingkan sapi lokal lainnya. Data menunjukkan bahwa persentase karkas sapi Bali adalah 55%, lebih tinggi dari sapi Ongole dan Madura (rata-rata 49%). Dengan kata lain, pada berat badan yang sama, sapi Bali menghasilkan daging lebih banyak dibandingkan kedua jenis sapi tersebut.

Luas wilayah NTT yang sekitar 4,7 juta Ha dengan kondisi fisik lahan 47,8 % berupa dataran rendah dan 55% jenis tanah subur, ternyata terdapat 1,7 juta Ha lahan yang berupa pada rumput (savanah) yang berpotensi sebagai padang pengembalaan. Dilihat dari potensi daya dukung hijauan pakan di wilayah NTT pada umumnya masih melimpah dan masih mampu menambah ternak ruminansia (sapi). Hasil penelitian Susanto dan Juarini di tahun 2006 mengemukakan bahwa poetensi lahan yang ada mampu menampung sekurang-kurangnya sebanyak 2,4 juta ST (Satuan Ternak) dari populasi saat itu sebanyak 472 ribu ST.

Terlepas dari potensi yang dimiliki oleh NTT, khususnya Pulau Timor bagi pengembangan peternakan sapi potong, berbagai masalah klasik masih mengancam keberlangsungan populasi/eksistensi ternak sapi di wilayah tersebut. Tingkat pemotongan betina produktif yang tinggi, manajemen padang penggembalaan yang buruk, ketiadaan sumber air dan pakan saat musim kemarau, serta ancaman penyakit-penyakit hewan menular adalah masalah utama bagi upaya pengembangan ternak sapi di wilayah ini. Kondisi ini semakin diperburuk dengan tidak adanya upaya-upaya intensif baik dari pemerintah maupun swasta untuk bergerak di dalam program-program pembibitan. Jika hal ini tidak diperhatikan secara serius maka NTT yang telah lama dikenal dengan julukan ‘gudang ternak’ sapi potong di Indonesia hanyalah akan tinggal kenangan.

1 komentar:

mikerk mengatakan...

Shalom. Setuju dengan komentar Atoin Meto (AM) bahwa perkembangan ternak sapi potong di NTT terkendala beberapa hal. Salah satunya adalah buruknya pengelolaan padang rumput. Lalu, siapa yang harus bertanggug jawab? Ada banyak cara untuk mengarahkan telunjuk kuta tetapi beta ingin mengusulakn satu ini: minimnya kerja kolaboratif antar sektoral. Data luas padang savana 1.7 juta ha menurut hemat saya malah masih terlalu rendah. Beta mampu menunjukkan angka yang lebih tinggi lagi. Tetapi sapa yang mau mengelola? Jawabnya satu: lintas sektoral. Apa mampu? MERDEKA BUNG