Selasa, 19 Agustus 2008

Wabah Anthrax di NTT

Mengapa Masih Sering Berulang
Wabah Antraks di Nusa Tenggara Timur

Maxs U.E. Sanam
(Harian PK, November 2007)

Wabah penyakit antraks kembali merebak di NTT. Setelah beberapa bulan lalu terjadi di Sumba Barat, kali ini berkecamuk di Flores, khususnya di Kabupaten Ende dan Sikka. Harian Pos Kupang (30/10) memberitakan bahwa antraks semula mewabah di Desa Tou Timur dan Desa Kota Baru, Kecamatan Kota Baru, Kabupaten Ende. Wabah yang sama juga ternyata terjadi di desa tetangganya yakni Desa Koro, wilayah Kabupaten Sikka (Pos Kupang, 31/10). Menilik catatan kasus, sesunggguhnya antraks di kedua Kabupaten ini, khususnya Ende, bukanlah kali pertama terjadi karena sudah pernah muncul di tahun-tahun sebelumnya, setidaknya di tahun 2003 dan 2004 (Drh. Maria Geong, Ph.D., Pos Kupang, 30/10).

Dengan kembali merebaknya wabah antraks ini seolah mempertegas status NTT sebagai wilayah yang paling ‘kaya’ dengan koleksi penyakit hewan menular strategis (PHMS) di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. Sebut saja sederet PHMS lain seperti seperti rabies, hog cholera, brucellosis, ngorok, ND, dan avian influenza (AI). Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mendefinisikan penyakit PHMS sebagai penyakit hewan yang memiliki dampak ekonomis yang signifikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Karena itu, aturan perdagangan hewan internasional melarang suatu negara yang masih berjangkit PHMS untuk mengekspor hewan maupun produk asal hewannya ke wilayah/negara lain yang bebas PHMS bersangkutan.

Tentunya kita patut mengapresiasi berbagai upaya dan kerja keras dari berbagai pihak yang-kompeten melaksanakan tugas pencegahan dan pengendalian berbagai PHMS tersebut. Namun, pertanyaan yang layak direnungkan adalah mengapa segala upaya dan kerja keras yang sudah dilakukan selama ini belum mampu memberantas satu pun penyakit hewan menular lenyap dari wilayah NTT ini? Padahal upaya pencegahan, khususnya vaksinasi, untuk sebagaian besar PHMS (termasuk antraks) sudah dilakukan sejak puluhan tahun silam. Untuk menjawab pertanyaan yang gampang-gampang sulit ini, selayaknya kita pahami terlebih dahulu epidemiologi dan karakteristik penyakit antraks ini.

Sekilas tentang antraks pada hewan dan manusia
Antraks adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Bakteri Bacillus anthracis, menyerang terutama ternak herbivora seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing. Hewan-hewan lain seperti kuda, anjing dan babi juga dapat diserang namun dengan tingkat fatalitas yang relatif lebih rendah. Antraks tergolong penyakit zoonosis karena disamping menyerang hewan, dapat juga menginfeksi manusia. Kuman B. anthracis memiliki 2 bentuk yakni vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif akan berubah menjadi spora saat kontak dengan oksigen/udara. Spora antraks sangat tahan panas dan di tanah dapat bertahan hidup selama puluhan tahun (dapat lebih dari 50 tahun).

Penyakit antraks banyak ditemukan di daerah-daerah pertanian yang memiliki pH tanah alkalis dan berkapur. Spora antraks yang berada di tanah menjadi sumber infeksi bagi ternak herbivora saat merumput. Data menunjukkan bahwa sebagaian besar wabah antraks terjadi selama periode akhir musim kemarau hingga awal musim hujan. Kekeringan memaksa ternak memakan bagian tanaman hingga dekat dengan tanah dimana spora antraks berada. Sementara itu, saat banjir, tanah akan terkikis sehingga spora akan terangkat ke permukaan dan memudahkan infeksi.

Masa inkubasi antraks berlangsung 3 – 7 hari dengan gejala yang terbagi dalam 3 bentuk yaitu perakut, akut, dan kronis. Pada bentuk perakut, penyakit berlangsung sangat cepat, ternak ditemukan mati tanpa menunjukkan gejala-gejala sakit yang menonjol. Bentuk akut, penyakit berlangsung relatif lebih lama, hewan mengalami demam, lesu, gemetaran, kejang lalu mati. Di samping itu kadang ditemukan darah encer berwarna hitam seperti tir keluar dari lubang-lubang tubuh alami. Kematian ummumnya terjadi 2 – 3 hari setelah gejala penyakit. Pada kasus kronis lebih sering dijumpai pada babi, terjadi penimbunan cairan edema yang meluas di bawah kulit di daerah leher dan dada bagian bawah, serta bahu.

Manusia dapat terinfeksi kuman antraks melalui 3 cara yaitu bersentuhan langsung dengan spora antraks (antraks kulit), mengkonsumsi makanan tercemar (antraks pencernaan), atau menghirup spora (antraks paru-paru). Data menunjukkan bahwa 95% kasus antraks pada manusia adalah bentuk antraks kulit. Bentuk antraks kulit ini dicirikan dengan terbentuknya borok bernanah (malignant pustula) atau gelembung panas dan sakit di bawah kulit (karbunkel).

Antraks paru-paru atau lazim dikenal sebagai woolsorter’s disease adalah penyakit infeksi yang umum dialami para penyortir bulu domba akibat secara tidak sengaja menghirup spora antraks yang terdapat di dalam bulu domba yang tercemar. Antraks inhalasi ini seringkali menimbulkan kematian. Kuman antraks telah dimanfaatkan kaum teroris sebagai salah satu senjata biologis. Kita mungkin masih ingat kasus teror di Amerika Serikat tahun 2001 yang memanfaatkan serbuk spora antraks yang dikirim melalui surat sehingga mengakibatkan 5 orang terbunuh.

Pencegahan dan penanganan antraks
Vaksinasi merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah antraks pada hewan. Namun vaksinasi seharusnya dilakukan setiap tahun dan dilaksanakan paling lambat 3 minggu sebelum perkiraan wabah. Dengan demikian tubuh hewan/ternak sudah memiliki zat kebal (antibodi) untuk menahan serangan infeksi kuman. Untuk menjamin perlindungan terhadap populasi secara maksimal maka cakupan vaksinasi harus tinggi dan mencakup seluruh jenis hewan yang rentan (sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, dan babi). Di samping itu, mengingat vaksin antraks merupakan vaksin hidup maka tidak boleh digunakan bersamaan dengan terapi antibiotika karena dapat menurunkan viabilitas (daya hidup) dan efektifitas vaksin.

Dalam keadaan wabah, hewan yang sakit namun masih belum parah dapat diobati dengan antibiotika dosis tinggi selama 3 – 4 hari. Sedangkan bangkai hewan yang mati tidak boleh dibuka apalagi dikonsumsi sebab apabila bagian bangkai dipotong maka bagian terbuka yang mengandung sel vegetatif antraks tersebut akan terkena oksigen dan serta-merta bentuknya berubah menjadi spora yang akan mencemari tanah dan bertahan hidup dalam waktu yang sangat lama. Maka sebaiknya di sekitar bangkai tersebut digali lubang yang cukup dalam untuk selanjutnya bangkai tersebut dibenamkan, dibakar lalu ditaburi kapur dan ditutup dengan tanah. Penguburan bangkai ini juga penting untuk mencegah penyebaran bakteri oleh hewan-hewan pemakan bangkai.

Pasien penderita antraks kulit, perlu segera memeriksakan diri ke dokter atau puskesmas terdekat untuk mendapatkan pengobatan. Gejala klinis yang muncul dan adanya riwayat kontak dengan hewan penderita antraks serta status endemis wilayah biasanya sudah cukup memberikan petunjuk bagi dokter untuk melakukan pengobatan yang efektif bila dilakukan seca dini.

Problem penanganan penyakit antraks di NTT
Kembali kepada pertanyaan yang diajukan dalam judul tulisan ini: ”Mengapa kasus antraks masih sering terjadi di NTT?” Sungguh tidaklah mudah bagi saya untuk menjawabnya namun berdasarkan pengalaman empiris saya dapat mengidentifikasi beberapa permasalahan. Pertama, vaksinasi pada hewan merupakan cara yang paling efektif mencegah timbulnya wabah antraks baik pada manusia maupun hewan; Namun, implementasinya di lapangan tidak dilakukan secara optimal. Data menunjukkan bahwa realisasi vaksinasi antraks pada daerah-daerah endemis, seperti Manggarai dan Sikka di Tahun 2006 hanya berkisar 42 - 45% (Data Dinas Peternakan NTT). Padahal, secara teoritis, untuk mencegah timbulnya wabah suatu PHM, cakupan vaksinasi minimal 80% dari populasi terancam. Buktinya, Ngada yang adalah daerah endemis dan juga tetangga terdekat dari Ende (daerah wabah), tidak mengalami kasus antraks karena realisasi vaksinasinya sudah cukup tinggi (hampir 90%).

Vaksinasi pun seringkali dilakukan secara tidak tepat waktu. Padahal, pola kejadian sebagian besar penyakit sebenarnya dapat diramalkan dan karena itu waktu pelaksanaan vaksinasi semestinya sudah dapat ditentukan. Namun sayang, proses pengadaan vaksin maupun aplikasinya di lapangan bukanlah hal yang mudah. Ia harus mengikuti proses yang panjang dan berliku. Akibatnya, meskipun vaksinasi masih dapat dilakukan, penyakit ternyata bergerak lebih cepat daripada vaksin.

Kedua, belum tersedianya laboratorium diagnostik yang memadai di daerah baik dalam hal peralatan maupun kemampuan SDM-nya merupakan persoalan yang cukup krusial. Selama ini, untuk mendiagnosa penyakit sekalipun untuk teknik pemeriksaan yang tergolong sederhana, laboratorium daerah harus mengirimkan spesimen hingga ke Denpasar, Maros, ataupun Bogor. Sementara itu, jumlah dan mutu tenaga ahli kesehatan hewan, baik paramedis veteriner maupun dokter hewan juga masih jauh dari memadai. Akibatnya penanganan dan pengendalian wabah penyakit hewan menjadi sangat lamban.

Ketiga, tanggung-jawab pemberantasan PHMS harusnya juga menjadi perhatian dan tanggung-jawab bersama, termasuk masyarakat dan pemilik hewan atau ternak. Pengetahuan dan kesadaran untuk memelihara ternak dalam sistem manajemen pemeliharaan yang benar dan sehat, termasuk kesadaran untuk melakukan vaksinasi, belum membudaya secara baik. Ironis memamg bahwa dalam era moderen seperti ini kebiasaan memakan daging hewan sakit bahkan yang sudah menjadi bangkai pun, masih cukup marak dilakukan. Upaya-upaya pengendalian dan pemberantasan PHM khususnya penyakit antraks seyogyanya diarahkan untuk mengatasi persoalan-persoalan krusial di atas. Pertama, membenahi penerapan vaksinasi baik pada aspek kuantitas maupun kulitas. Terkait aspek kuantitas adalah dengan memaksimalkan persentasi cakupan dan mengoptimalkan waktu pelaksanaannya; Sedangkan berhubungan dengan aspek kualitas, perlu dilakukan evaluasi terhadap mutu vaksin, penanganan dan penerapannya di lapangan, serta pasca vaksinasi untuk memastikan efektifitas vaksinasi tersebut suatu rangkaian proses evaluasi yang seringkali terabaikan. Kedua, meningkatkan kapasitas kompetensi laboratorium diagnostik di daerah melalui peningkatan sarana dan prasarana, serta pengembangan kualitas SDM, khususnya dokter hewan. Pengendalian PHMS memerlukan tenaga ahli yang mampu berpikir analitis, bersikap dan bertindak profesional serta tidak cukup dengan hanya mengandalkan tenaga-tenaga awam yang hanya terampil menggunakan jarum suntik; Ketiga, melakukan penelitian untuk memetakan karakter genetik dan virulensi dari strain B. anthracis yang mungkin saja telah mengalami perubahan; Keempat, mengintensifkan penyuluhan kepada peternak tentang pengenalan, pencegahan dan penanganan penyakit antraks;. Saat yang sama, penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya mengkonsumsi daging hewan sakit apalagi bangkai hewan perlu diintensifkan. Kebiasaan yang merupakan kesalahan fundamental ini tidak saja membahayakan jiwa tetapi juga ikut menyebarkan penyakit antraks itu sendiri; dan Kelima, menggalang komitmen politik dari pemerintah dan kalangan legislatif baik di level provinsi maupun daerah untuk memberikan dukungan penuh bagi upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan PHMS. Memang terkesan bahwa hewan/ternak menjadi fokus penanganan karena sudah seharusnya demikian strategi pengendalian penyakit PHMS agar kita tidak terjebak dalam rutinitas ritual-seremonial penanganan simtom (akibat) tapi tidak pernah menyentuh apalagi mengatasi inti dari persoalan (causa prima) suatu penyakit.

2 komentar:

henidangga mengatakan...

Tulisannya oke pak......
Ditunggu tulisannya yang lain...

Max mengatakan...

Bu Heni, terima kasih untuk komentarnya. Maaf, blog ini baru saya aktifkan dan up-date lagi untuk sekian lamanya. Salam TS.